Thursday, September 22, 2016

ARWAH KORBAN KECELAKAAN

Sore itu aku pulang dari tempat kerja menuju rumah, jarak tempat kerjaku dari rumah sekitar 9 km. Ketika melewati sebuah jembatan besar tepatnya di tikungan daerah persawahan jalanan macet. Kelihatan antrian kendaraan di depanku berhenti lumayan panjang, tampak dari kejauhan ada sebuah mobil patroli dan dua orang polisi sedang mengatur arus kendaraan, berusaha melancarkan jalan. Sekitar seperempat jam aku terjebak dalam kemacetan akhirnya pelan-pelan mobilku mulai bisa maju. Ketika melewati pusat keramaian, barulah aku tahu rupanya baru saja ada kecelakaan. Tampak di sebelah kiri jalan ada sebuah truk penuh dengan muatan dalam kondisi hampir terguling menyandar di sebuah pohon pinus. Kalau saja tidak ada pohon itu kemungkinan truk sudah terguling.

Pada malam harinya seperti biasa aku dan bala Kurawa berkumpul, kali ini kami ngopi bersama di Teras Ngopi 85. Malam itu agak ramai karena ditambah kedatangan Bala Kurawa yang dari dukuh Sawangan dan Pemalang. Mereka bercerita membicarakan kejadian tadi sore tentang mobil truk yang terguling di daerah persawahan yang jauh dari pemukiman. Menurut mereka truk kelebihan muatan sehingga ketika di tikungan yang jalannya menanjak truk tidak kuat. Truk tersebut kemudian melorot mundur disebabkan rem yang sudah tidak mampu lagi menahan beban muatannya. Ternyata di belakang truk ada sebuah sepeda motor yang dikendarai dua orang gadis belia, sehingga tak bisa dihindari lagi sepeda motor itu terkelindas dan terseret. Truk berhenti karena keluar dari badan jalan sampai masuk ke parit yang dalam dan tertahan sebuah pohon pinus.

Dari dua orang gadis itu si pembonceng sempat turun dan menghindari truk yang semakin mundur. Sementara gadis yang mengemudikan sepeda motor ikut terseret dan terlindas badan truk sehingga meninggal di lokasi kejadian dengan kondisi sangat mengenaskan, kepala pecah karena terjepit bagian bawah truk. Menurut mereka gadis belia yang meninggal itu baru berumur 15 tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.

Keesokan harinya seperti biasa aku berangkat menuju tempat kerjaku. Seharian pekerjaan sangat menumpuk sehingga aku pulang agak terlambat. Ketika adzan magrib berkumandang aku baru bisa keluar dari tempat kerjaku. Saat itu gerimis mulai membasahi jalan yang kulalui, jalan berkelok dibatasi tebing dan jurang. Sepanjang jalan hanya berpapasan dengan beberapa kendaraan saja.

Melewati sebuah jembatan yang panjang kulihat suasananya juga sepi sekali. Pada saat sampai di daerah sawah dengan belokan jalan yang menanjak, aroma aneh seperti menyengat sekali kurasakan. Kupikir mungkin karena sisa darah kecelakaan kemarin terguyur hujan makanya beraroma seperti ini. Kututup kaca pintu mobilku supaya aromanya berganti parfum mobil. Tapi kok tetap saja baunya tidak enak sekali padahal kaca sudah tertutup rapat. Aku mulai merasa mual ingin muntah, sementara mobil menjadi terasa berat sekali seperti penuh muatan.

Muncul kilat dilangit sedikit menerangi sekitaran luar kendaraanku, dengan tak sengaja kulihat lewat spion tengah, alangkah kaget aku dibuatnya. Sekilas tampak sosok berambut panjang menutupi separuh wajahnya yang putih sekali seperti bersinar. Aku hanya menduga-duga kalau itu sosok asli penunggu tempat itu atau arwah korban kecelakaan kemarin. Tak kuhiraukan sosok itu dari mana asalnya karena aku sudah tidak kuat menahan rasa mual ingin muntah. Kucoba kuinjak pedal gas untuk menambah kecepatan namun hasilnya tetap sama, mobil melaju tetap dengan agak pelan.


Selama perjalanan antara daerah persawahan menuju rumah tidak ada interaksi dalam bentuk apapun. Hanya rasa mual dan sedikit pusing kurasa. Hingga ketika melewati sebuah gedung sekolah, kuhentikan mobilku menepi di depan pintu gerbang sekolah itu. Dengan suara agak kukeraskan aku bilang "om mau pulang ya.. jangan ikut". Tidak ada jawaban sepatah katapun, dalam hitungan detik kemudian sosok itu menghilang. Akupun melanjutkan perjalansn pulangku dengan kecepatan mobil normal dan tidak ada aroma apapun yang menggangguku.

Sebelum sampai di rumah kusempatkan berhenti sebentar di depan rumah bapak. Rupanya di teras rumah ada den Koko dan mas Tejo sedang ngobrol. Kuceritakan apa yang terjadi baru saja. Den Koko juga bilang kalau anak yang meninggal kemarin cantik, putih dan rambutnya panjang. Mungkin sosok yang diceritakan den Koko adalan arwah korban kecelakaan yang mengikutiku baru saja. Keesokan harinya den Koko mengalami kejadian yang sama denganku yaitu diikuti arwah korban kecelakaan di mobilnya. Karena teringat caraku kemarin, maka diapun berhenti di depan gedung sekolah yang dilewati sebelum sampai rumah dan berkata sama seperti yang aku katakan pada sosok itu, dan hasilnya.. Aman...

Tuesday, September 20, 2016

DIKAWAL DAYANG GHAIB GOA LAWA

Purbalingga, Nopember 2015.
Pada hari Minggu, lik Yono paman istriku mengajak kami untuk refreshing melepas lelah setelah melaksanakan hajatan pernikahan Agus dan Isma. Agus adalah sepupu istriku yang tinggal di kampung sebelah. Dengan menggunakan dua mobil kami sekeluarga pergi menuju Obyek Wisata Goa Lawa yang terletak di kaki gunung Slamet, tepatnya di kabupaten Purbalingga.

Saat itu musim penghujan, gerimis membasahi sepanjang jalan yang kami lalui menuju Goa Lawa. Sampai di desa Pratin kabut mulai turun melengkapi hawa pegunungan yang dingin. Kira-kira setelah menempuh satu jam perjalanan sampailah kami di lokasi obyek wisata Goa Lawa. Di tempat parkir kulihat hanya ada beberapa mobil dan sepeda motor saja. Situasi obyek wisata pada hari itu rupanya pengunjung agak sepi, sementara pedagang yang berjualan juga banyak yang tidak membuka tokonya. Setelah membayar tiket masuk dan parkir, kami berjalan memasuki lokasi Goa Lawa dengan ditemani seorang pemandu wisata.
Isma, Agus Lik Yati dan Lik Yono
Dari pintu gerbang masuk menuju area masuk goa kira-kira sepuluh menit kami berjalan kaki . Melalui trap tangga turun mulailah kami memasuki area Goa Lawa. Pemandu wisata menceritakan sejarah ditemukannya goa itu dan bagian-bagian terpenting yang ada di dalam goa. Butiran air yang menetes dari langit-langit goa seperti gerimis yang turun membasahi rambut kami. Stalagtit dan stalagmit juga menghiasi seluruh ruangan goa. Kemudian kami melewati sebuah jembatan kecil tapi memanjang dengan bentang sekitar 50 meter. Jembatan itu merupakan jalan buatan untuk melewati medan goa yang tergenang air. Sempit dan berkelok dengan genangan air yang menghampar di lantai goa mirip sebuah danau kecil di dalam goa.
Semakin dalam kami menyusuri dalam goa, suasana mulai kurasakan semakin agak lain. Hawa mistis mulai kurasakan kuat di sekitarku. Telingaku mulai berdengung seakan ada angin ribut di sekitar kami. Agar yang lain tidak menjadi takut, aku sengaja menjaga sikap seolah-olah tidak ada apapun. Kemudian pemandu wisata menunjukan ruangan-ruangan yang ada di dalam goa. Ada goa Dada Lawa, balai Paseban atau ruang pertemuan, pancuran bertuah dan lainnya. Ketika sampai di sebuah pertigaan dalam goa aku penasaran sekali dengan sebuah pintu masuk kecil yang dipagar besi seakan merupakan peringatan bahwa tidak seorangpun boleh memasukinya. Kutanyakan pada pemandu wisata tempat apakah itu, kenapa malah dipagar? Pemandu wisata menjelaskan bahwa tempat tersebut adalah Goa Ratu, tempat yang keramat yang tidak oleh dimasuki pengunjung.
Aku sengaja memperlambat langkah agar terpisah dari rombonganku. Rupanya rombonganku dipandu melewati jalan yang berada di sebelah kiri, setelah kurasa situasinya sepi aku memutuskan untuk lewat jalan yang berada di sebelah kanan menuju tempat yang membuat aku penasaran tadi. Ternyata benar di pintu yang berpagar tadi terdapat tulisan Goa Ratu. Di depan pintu pagar besi itu aura positif sangat kuat kurasakan seakan menarik untuk mendekat. Sambil duduk beralaskan sendal yang kupakai, aku mencoba bermeditasi memusatkan seluruh komponen kekuatan yang ada pada diriku supaya tahu apa yang ada di sekitarku. Angin sepoi berhembus menerpa wajahku, hawa yang sangat dingin membuatku menggigil, bersamaan dengan itu secara tiba-tiba muncul sosok wanita cantik di dalam ruangan yang berpagar itu. Jarak kami memang agak jauh, tapi masih bisa kulihat jelas dia berbusana seperti putri keraton dengan sumping di telinga dan kemben berwarna hijau gadung melati dengan bawahan batik lurik warna coklat. Dia hanya tersenyum padaku sambil mengangguk kecil menundukan sedikit wajahnya. Hanya dalam hitungan detik sosok itu menghilang bersamaan dengan buyarnya konsentrasiku karena air yang menetes dari langit-langit goa jatuh tepat di hidungku. Hanya aroma harum semerbak melati keraton yang tertinggal menemani diriku yang diam terpana.
Bagian Dalam Goa Lawa
Rasa penasaranku dalam hati rupanya terjawab sudah setelah melihat sosok cantik dengan senyuman yang sangat menawan tadi. Kulanjutkan perjalananku menyusuri jalan dalam goa untuk menyusul rombongan keluargaku. Rupanya mereka sudah menunggu di tangga naik menuju pintu keluar goa. Sekitar tiga jam kami berada di area obyek wisata Goa Lawa, anak-anak menghabiskan waktu untuk bermain di taman. Di atas hamparan tikar kami makan bersama dengan bekal makanan yang memang sudah dipersiapkan dari rumah. Setelah membeli souvenir dan oleh-oleh, sekitar jam 16.00 WIB kami mulai berbenah dan meluncur pulang.
Walapun gerimis tetap semangat broo...
Perjalanan pulang keluar dari pintu gerbang Goa Lawa jalan menanjak sangat tajam. Jalan datar yang kami temui setelah tanjakan adalah desa Pratin. Sampai di jalan yang datar mobil masih kurasakan berat seperti tadi waktu di tanjakan. Memang aura yang aku rasakan di Goa Ratu masih terasa walaupun sudah di dalam mobil dan jauh dari area obyek wisata Goa Lawa. Sementara ku lihat mobil yang dikendarai Lik Yono sekeluarga terlihat normal tanpa beban hambatan. Di dalam mobilku ada dua anak balita yaitu Nindita anakku yang saat itu masih berusia satu setengah tahun dan Zifar anak dari Paung kakaknya Agus. Mulai dari kami keluar lokasi Goa Lawa Nindita dan Zifar tak henti-hentinya menangis.

Sambil mengendalikan kemudi aku coba meraba apa yang terjadi di dalam mobilku. Sampai di lapangan desa Pulosari, aku menepikan kendaraanku. Mobil Lik Yono juga ikut menepi dan menanyakan kenapa harus berhenti. Ternyata benar dugaanku tentang hawa yang aku rasakan sama seperti waktu di Goa Ratu ada di dalam mobilku. Kupindahkan anak-anak berganti ikut dalam mobil lik Yono. Jadi di dalam mobilku hanya berisi orang dewasa.

Setelah kami mulai melanjutkan perjalanan lagi, istriku mencoba menghubungi Isma yang ada di mobil lik yono melalui telepon menanyakan keadaan anak-anak. Ternyata anak-anak dalam kondisi yang tenang dan tidak menangis. Saat terdengar adzan maghrib kami masih berada di wilayah di desa Karangsari. Sambil menyetir iseng ku lihat spion tengah mengamati kondisi di kursi tengah dan belakang. Keluarga istriku di kursi tengah rupanya kelelahan setelah berekreasi, jadi tertidur lelap. Anehnya ada bayangan tiga orang lagi duduk di kursi belakang, padahal jelas-jelas kursi belakang kosong. Sepintas dandanan mereka mirip seperti wanita yang tadi aku temui di Goa Ratu di area obyek wisata goa Lawa.

Sampai dibukit kukusan desa Karangsari, sebelum jalan yang sangat menanjak mobil yang dikendarai lik Yono mengalami trouble sehingga harus berhenti. Akupun ikut menepi dan keluar dari mobil. Ketika kakiku baru menginjakan tanah, aku dikagetkan lagi dengan munculnya tiga sosok yang sudah berdiri dihadapanku, mereka tersenyum manis sekali, dengan kedua telapak tangan disatukan di depan dada, sambil membungkukkan badan sedikit seperti berpamitan dalam hitungan detik mereka menghilang.


Rupanya mereka adalah dayang ghaib yang dikirim untuk mengiringi perjalanan pulangku. Itulah kenapa anak-anak di dalam mobilku selalu menangis, karena anak kecil juga peka terhadap adanya makhluk ghaib di sekitar. Tapi kenapa mereka harus mengiringi perjalananku sampai di bukit Kukusan? Anak-anak aku pindahkan lagi ke mobilku karena aku sudah memastikan kondisi yan aman bagi anak-anak.


Sebelum Isya kami sudah sampai di rumah lik Yono. Ketika semua sudah berkumpul, sambil minum teh hangat dan kue kering barulah aku menceritakan apa yang terjadi sepanjang perjalanan. Spontan suasana di ruang tamu rumah lik Yono menjadi ramai. Ada yang histeris kecil, ada yang hanya melongo dan ada juga yang tertawa sambil mengeluarkan air mata. Mereka baru tahu apa yang sudah terjadi selama perjalanan pulang karena sepanjang perjalanan tadi mereka tidak menyadarinya dan akupun tidak bercerita karena khawatir mereka takut hehehehe...

Wednesday, September 14, 2016

NYI SERUNI WEWE BERAMBUT EMAS

Pengalaman ini kami alami kira-kira dua tahun yang lalu tepatnya bulan Oktober tahun 2014. Malam itu malam Selasa, jam dinding sudah menunjukan pukul 22.05 WIB. Aku masih duduk bersama bala Kurawa Bumijawa di teras rumah den Koko sambil menikmati kopi hitam dan ketela goreng. Malam ini kami hanya berempat yaitu aku, mas Ito Watulawang, den Koko dan mas Tejo. Terdengar bunyi HP mas Ito, ternyata sebuah sms masuk berasal dari mas Wawan bala Kurawa yang tinggal di desa Dukuhtengah. Mas Wawan mengharapkan kami datang mengunjungi rumahnya.

Kami berangkat hanya bertiga menggunakan mobil sedan den Koko. Mas Tejo tidak bisa ikut ke rumah mas Wawan karena sedang tugas piket malam. Sampai di desa Rembul hujan deras mulai turun, jalan satu-satunya menuju rumah mas Wawan adalah melewati makam angker yang ada di dukuh Serang. Setelah melalui sebuah tanjakan sulit yang kondisi aspalnya sudah habis, akhirnya sampailah kami di gang masuk menuju rumah mas Wawan. Setelah mobil diparkir di tepi jalan kampung, kami berjalan kaki kira-kira 200 meter hingga sampai pada sebuah rumah bilik yang sangat sederhana di tengah kebun. Sekeliling kami gelap sekali hanya terlihat bayangan rimbunnya pepohonan. Yang nampak jelas hanya rumpun pohon bambu dan sebuah pohon nangka di belakang rumah.

Rupanya mas Wawan sedang ada tamu, ku hitung ada empat pria dan dua wanita. Sementara kami pun menunggu di halaman depan rumah. Setelah tamunya pulang kemudian kami dipersilahkan masuk ke rumahnya. Kami duduk beralaskan tikar anyaman yang menghampar di ruang tamu. Yah, mas Wawan hidupnya sangat sederhana, pekerjaan sehari-hari sebagai seorang pekerja bangunan cukup untuk menghidupi istri dan kedua anaknya yang masih kecil. Padahal banyak orang yang sengaja datang minta tolong kepada mas Wawan untuk mengatasi berbagai masalah mereka, tetapi mas Wawan tidak pernah meminta imbalan ataupun mahar. Beliau ikhlas menolongnya, kebanyakan yang datang minta penglaris adalah pedagang nasi goreng yang hidup di perantauan.

Setelah berbincang-bincang sejenak kemudian mas Wawan masuk kedalam kamar. Tak lama kemudian dia keluar sambil membawa sebuah bumbung bambu dengan motif ukiran. Lalu dia pun mempersilahkan kami untuk melihatnya. Begitu aku memegang bumbung bambu itu langsung terasa getaran yang lumayan kuat. Bau harum minyak tujuh penjuru memadati ruangan yang tak lebar itu. Karena rasa penasaran aku mengambil dupa kerucut beraroma rose dan lavender yang selalu aku bawa di saku jaket. Setelah diberi mantra lalu mulai kubakar dupa itu. Harum aroma dupa tak kalah memenuhi ruang tamu rumah mas Wawan.

Kami semua konsentrasi dalam meditasi untuk mendeteksi benda apakah gerangan. Di bawah temaram cahaya lampu ruangan yang tidak begitu terang, samar-samar kulihat tutup bumbung itu mulai berputar membuka. Setelah tutupnya membuka penuh terurailah segenggam rambut berwarna kuning keemasan dengan panjang kira-kira setengah meter.

Kami sangat heran karena baru kali ini melihat bentuk rambut yang seperti itu. Aku berpendapat bahwa tidak mungkin itu adalah rambut manusia. Mas Wawan sambil tersenyum berkata kalau kami ingin tahu jenis rambut makhluk apa itu maka kami harus meditasi sambil memegang rambut itu. Tapi belum sampai kami memegangnya, tiba-tiba tubuh ini mulai merasakan gatal-gatal seperti terkena gurem sawah.

Aku urungkan niatku untuk memegang rambut yang terurai keluar dari bumbung bambu itu. Rupanya mas Ito dan den Koko juga mengalami hal serupa sehingga mereka pun mengikutiku untuk tidak jadi memegangnya. Aku mengeluarkan sebotol minyak misik hitam dan minyak jafaron merah untuk sarana membantu menarik energi yang ada disekitar kami. Satu buah dupa aku bakar lagi, sambil kami mencoba melihat dengan mata bathin apa yang ada di hadapan kami.

Ketika sudah mencapai titik puncak meditasi samar-samar melalui mata bathinku tampak sosok seperti seorang nenek disamping mas Wawan. Sosok itu berambut panjang dengan warna kuning emas persis sekali dengan ada yang di bumbung bambu. Sosok itu jongkok wajahnya kecoklatan agak peot, giginya ompong dan terlihat hanya menggunakan kain selendang batik yang dipakai seperti popok bayi, sementara payudaranya yang sudah peot juga menjuntai sampai ke lantai tanah. Sosok itu tertawa terkekeh sambil memandangi kami. Sosok itu bukan sosok yang menakutkan tetapi malah terlihat lucu.

Setelah selesai meditasi kami lanjutkan ngobrol sambil minum kopi. Mas Wawan kemudian menceritakan awal mula sosok nenek itu sudah sekitar sembilan tahun bersamanya. Sosok itu dari golongan wewe gombel tapi dari jenis yang tidak jahat. Dia biasa memanggilnya si Mong karena biasanya wanita tua kalau di desa dipanggil "Mong" yang artinya nenek. Rambut yang di dalam bumbung itu diberikan oleh si Mong kepada mas Wawan agar dipergunakan untuk tujuan sarana menolong, sebagai sarana penglaris bagi pedagang, menjaga keharmonisan keluarga dan yang pasti adalah sarana pemikat.

Pukul 02.30 WIB dini hari kami pamit pulang. Perjalanan pulang aku duduk di belakang bersama mas ito, sementara den Koko memegang kemudi di depan sendirian. Setelah mobil mulai berjalan den Koko bilang kalau laju mobil terasa berat sekali seperti kelebihan beban muatan. Memang aku dan mas Ito juga merasakan aura yang lain di dalam mobil. Samar kulihat ada sebuah sosok yang duduk di kursi samping den Koko.

Sampai di perbatasan antara desa Dukuhtengah dan desa Rembul tepat disebuah jembatan yang berada di tikungan tajam aku meminta den Koko untuk menepi dan menghentikan mobil. Ternyata benar sosok itu adalah si Mong yang rupanya mengikuti kami di dalam mobil. Aku mencoba berinteraksi dengan sosok si Mong. Ketika ku panggil dengan sebutan si Mong sosok itu berkata kalau namanya adalah Nyi Seruni yang aslinya berasal dari hutan Jurang Mangu. Kami pun meminta nyai Seruni untuk turun dari mobil dan kembali ke rumah mas Wawan. Sambil terkekeh nyi Seruni menghilang dalam gelapnya malam.

Keesokan paginya mas Wawan mengirim pesan melalui sms yang isinya mengharap sekali kedatangan kami lagi pada malam Sabtu karena ternyata nyi Seruni sangat menyukai kedatangan kami bala Kurawa Bumijawa dan akan memberikan dengan sukarela kenang-kenangan kepada kami. Kira-kira apakah gerangan yang akan terjadi berikutnya? Nantikan kisahnya di postingan berikutnya yaa he..he..he...

Friday, September 2, 2016

MISTERI HALIMUN LEMBAH SIRENGGONG

Bumijawa April 2014,
Hari itu Jumat malam Sabtu, seperti biasanya bala Kurawa berkumpul di rumah Den Koko. Pukul 23.15 wib kami bertiga aku, Den Koko dan mas Ito Watulawang berangkat menuju dukuh Sawangan di lereng gunung Slamet. Kami berencana mengunjungi teman-teman bala Kurawa yang ada di sana.
Dengan mengendarai belalang tempurku kami bertiga menyusuri malam yang gelap dan dingin. Kabut mulai turun ketika kami baru sampai di desa Sigedong. Kami mampir sebentar ke rumah mas Yusup di dukuh Anggrum untuk kami ajak serta menuju dukuh Sawangan. Setelah melalui jalan yang menanjak dan berkelok-kelok sampailah kami pada perbatasan jalan yang sangat rusak. Batu jalan banyak yang lepas dan debu menutupi jalanan. Saat itu musim kemarau jadi jalanan yang kami lalui penuh dengan debu, suhu udara pada malam hari dingin sekali.
Pelan tapi pasti belalang tempur kupacu memilih jalan yang bisa dilalui agar tidak terperosok ke dalam jurang. Mas Ito sebagai navigatornya duduk di sampingku. Sementara Den koko dan mas Yusup mengawasi keadaan sekeliling. Sepanjang perjalanan di sekeliling kami yang nampak hanya hutan pinus. Setelah setengah jam kami menempuh jalan rusak tiba lah kami di sebuah pertigaan. Rupanya jalan ditutup karena sedang dilakukan pengecoran jalan. Jalan dialihkan belok ke kiri melalui lembah Sirenggong.
Sepanjang perjalanan mas Yusup bercerita tentang angkernya lembah Sirenggong yang konon pada jaman penjajahan dahulu dijadikan tempat pembantaian. Benar juga yang dikatakan mas Yusup, ketika kami melewati sebuah jembatan kecil dengan tebing yang curam, hawa lain mulai kurasakan. Untuk memastikan barangkali aku salah, kutanya mas Ito dan Den Koko. Ternyata merekapun sama juga merasakan energi yang besar di sekeliling kami. 
Kami berhenti sejenak untuk meditasi agar mendeteksi sumber energi tersebut. Rupanya tidak hanya satu, tapi banyak sekali para penghuni lembah Sirenggong yang ada disekitar kami. Kuputuskan untuk segera pergi dari tempat itu karena energi yang berdatangan semakin tidak bersahabat.
Tibalah kami pada sebuah tanjakan yang medannya sangat buruk. Lampu mobil aku arahkan jarak jauh, terlihat kondisi jalan yang sangat rusak penuh dengan bebatuan yang berhamburan ditambah debu yang tebal. Kumasukan persneling ke gigi satu, dengan kecepatan yang pelan kami tingkatkan kewaspadaan sambil memilih jalan.
Pada pertengahan tanjakan yang curam tiba-tiba muncul kabut yang sangat tebal hingga aku kesulitan melihat jalan di depanku. Dengan sangat terpaksa kuhentikan mobilku sejenak untuk melihat situasi medan, agar kami tidak terperosok kedalam jurang.
Keanehan mulai muncul ketika kabut tebal itu membentuk sebuah lingkaran mirip lorong waktu. Aku memastikan dan bertanya kepada mas Ito, termyata mas dia pun melihat dan merasakan ke anehan itu. Mobil kami seperti di dalam sebuah pipa PVC yang sangat besar. Semua serba putih dan berputar. Tidak ada suara apapun yang kami dengar, bahkan suara mesin mobil pun tidak terdengar sama sekali. Tapi mengapa kurasakan mobil berjalan semakin mundur dan turun, padahal jelas-jelas aku berjalan maju menggunakan persneling gigi satu. Ketenangan suasana yang tidak lazim itu membuat kami seakan dalam dunia mimpi. Sampai kami tersadar ketika suara "praang!!!" terdengar seperti seseorang melempar kaca mobil kami.
Den koko dan mas Yusup memeriksa dari dalam, tapi tidak ada satupun kaca mobil yang pecah.
Gulungan kabut itu menghilang dengan tiba-tiba. Kulihat di depanku sangat gelap sekali. aku berusaha menambah kecepatan agar mobil berjalan maju tetapi hasilnya tetap nihil. Mobil pada posisi yang tidak bergerak sepertinya selip dan hingga akhirnya mesin mobil pun berhenti.
Aku kaget ketika ada yang mengetuk-ngetuk kaca mobilku dengan keras. Setelah kubuka kaca pintu mobil, kulihat ada lima orang yang mendatangi kami. Mereka berteriak-teriak panik sambil menggedor-gedor kaca mobil. Kemudian salah seorang menanyakan kondisi kami yang ada di dalam mobil apakah selamat semua atau ada yang terluka? Kami bingung mengapa mereka menanyakan itu. Karena penasaran, kami berempat keluar dari mobil. Ternyata mobil yang kami kendarai sudah tidak berada di badan jalan lagi tetapi di jurang tepi jalan. Makanya aku tadi aku hanya melihat kegelapan di depanku. Mobil tidak bisa maju ternyata badan mobil sudah di bawah jalan sambil menghadap ke dinding tebing. Untung saja kami tidak terperosok ke dalam jurang yang berkedalaman 12 meter di dekat kami.
Malam itu kami tinggalkan mobil tergeletak dibawah. Orang-orang yang tadi menolong mengajak kami ke truk mereka. Kami meneruskan perjalanan ke dukuh Sawangan dengan menggunakan truk pengangkut pupuk kandang. Sambil berpegangan kantong pupuk
yang menjulang tinggi, kami naik di atas truk sambil tertawa bersama, karena merasa heran dengan apa yang terjadi baru saja.
Sampailah kami di dukuh Sawangan. Kami menceritakan kejadian yang baru saja kami alami, bala Kurawa yang di dukuh Sawangan kemudian bercerita bahwa sering sekali terjadi kejadian aneh di lembah Sirenggong. Kadang yang muncul adalah selendang yang panjang sekali, atau kabut yang tebal membentuk lingkaran.
Keesokan harinya kami bersama-sama menarik mobil agar bisa posisi di badan jalan. Namun yang aneh lagi adalah tidak ada sedikit pun bekas di rumput yang menunjukan kalau semalam mobil kami terperosok. Hmmm... lembah Sirenggong.