Friday, August 26, 2016

AENI... OH AENI...

Pasuruan, medio Mei 1998.
Jam dinding di ruang kerjaku sudah menunjukan pukul 16.30 WIB. Kubereskan alat-alat dan meja gambarku untuk siap-siap pulang menuju tempat kos yang berjarak sekitar 5 km dari base camp. Aku bekerja disebuah cabang perusahaan kontraktor yang kantor pusatnya di Banten. Kebetulan perusahaan mendapat tender  pelebaran jalan raya segmen C di kota Bangil, Pasuruan Jawa Timur. Sejak lulus STM Bangunan 2 tahun lalu aku mendapatkan pekerjan ini. Tugasku di kantor base camp sebagai juru gambar merangkap pelaksana lapangan. Di kantor cabang usiaku yang paling muda diantara karyawan lainnya, dan aku hanya pula yang masih berstatus lajang. Maklumlah usiaku saat itu baru menginjak 19 tahun, jadi masa transisi menuju dewasa.
 
Seperti remaja lain seusiaku yang selalu ingin mencari kesenangan disore hari, pulang dari base camp aku tidak langsung menuju tempat kos ku di dekat stasiun kota Bangil. Kupacu sepeda motorku melintasi alun-alun Bangil, dengan tujuan ingin mencari tempat yang nyaman untuk cuci mata. Pada umumnya remaja di kota Bangil pada sore hari berkumpul di alun-alun. Ada yang bersama keluarga, teman atau pun pacarnya.
 
Tak terasa matahari mulai terbenam di ufuk barat. Lampu-lampu hias mulai menyala di seluruh penjuru alun-alun. Cahaya lampu hias tidak cukup menerangi seluruh sudut alun-alun, sehingga terang tapi agak remang-remang. Aku masih duduk di sebuah warung lesehan sambil menikmati segelas kopi hitam. Terdengar alunan lagu "Jogjakarta" yang dinyanyikan Katon Bagaskara dari sebuah radio kecil milik penjual di warung lesehan itu, sangat menyentuh kalbu. 

Kalau sudah duduk sendirian, tanpa ada yang menemani seperti ini aku jadi teringat keluarga di Tegal. Rindu suasana rumah yang sangat nyaman, kangen bapak, ibu, kakak dan adik-adikku. Biasanya jam-jam seperti ini di rumah sedang kumpul minum teh bersama ditemani kue buatan ibu sambil ngobrol dan bercanda. Sudah 2 tahun aku tidak merasakan keindahan saat-saat bersama seperti itu. Ah semakin dalam rasa ini untuk pulang ke Tegal.
 
Hari mulai gelap ketika aku beranjak berjalan melewati taman menuju tempat parkir motorku. Langkahku terhenti ketika ada seseorang yang memanggil namaku. Ternyata dia adalah Aeni, seorang SPG yang aku kenal setahun yang lalu. Wajahnya sih lumayan cantik, kulit putih, postur tubuhnya semampai bahkan lebih tinggi dariku. Sudah satu bulan kami tidak saling bertemu, yang kudengar informasi dari temannya Aeni pindah tugas ke Surabaya. Dulu kami biasa pergi bersama setelah jam pulang kantor ataupun hari libur. Dengan mengendarai sepeda motor kami boncengan jalan-jalan melihat tempat wisata yang ada di sekitar Pasuruan. Walau kami akrab dan sering pergi bersama tapi kami tidak pacaran, hubungan kami malah seperti saudara. Tapi sampai saat itu pun aku belum tahu lokasi rumah orang tuanya, karena tempat favorit kami bertemu biasanya selalu di alun-alun kota Bangil.
 
Seperti biasanya kami melepas kangen karena lama tak bertemu dengan canda dan tawa, ngobrol sambil duduk di sudut taman. Karena sudah agak malam maka aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Tapi jawabannya selalu sama, katanya tidak mau merepotkanku karena jarak rumahnya agak jauh sekitar 10 km dari kota Bangil. Dia memilih untuk naik mini bus saja. Sebelum kami berpisah di halte dekat stasiun, Aeni menyuruhku mencatat alamat rumah orang tuanya dan memintaku untuk bisa meluangkan waktu datang di rumah orang tuanya besok. Aku langsung memberi jawaban pasti kalau aku bisa datang. Saat-saat inilah yang aku tunggu, supaya bisa tahu tempat tinggal dan keluarganya pikirku.
 
Pulang kerja langsung kupacu sepeda motorku dengan cepat. Rasa ingin segera sampai ke alamat yang diberikannya membuat aku bagai seorang pembalap yang ingin mencapai garis finish. 
Seperempat jam kemudian aku sudah memasuki sebuah desa di bawah obyek wisata air panas Tretes. Dengan modal alamat yang ada dan bertanya kepada orang-orang yang aku temui di jalan akhirnya bisa kutemukan juga rumah orang tuanya Aeni. 

Rumah yang besar dengan halaman luas bersih tertata rapi. Di halaman terlihat ada dua pohon mangga yang menghiasi pelataran penuh bunga. Pintu dalam kondisi terbuka, kulihat ruang tamu masih terhampar karpet seperti habis selesai hajatan. Kuucapkan salam sebagai pengantar mengetuk pintu, kemudian seorang bapak-bapak seusia bapakku keluar, postur tinggi besar dan berkumis tebal. Aku mengenalkan diri kalau aku ini temannya Aeni dan kedatanganku untuk menemuinya. Bapak itu mengernyitkan dahinya dan segera menyuruhku duduk. Seorang anak perempuan menyuguhkan secangkir teh manis hangat kepadaku kemudian ikut duduk dikarpet bersama kami. Bapak itu mengenalkan diri kalau beliau adalah bapaknya Aeni, namanya pak Sobari dan gadis kecil yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama itu adalah adik perempuan Aeni yang bernama Yuni.
 
Pak Sobari mengajakku ngobrol seputar pekerjaanku dan bertanya sejak kapan aku mengenal Aeni. Aku pun bercerita panjang lebar tentang kebersamaan kami selama ini, sambil mataku mencari-cari kenapa Aeni tidak juga keluar. Sampai aku bercerita tentang pertemuanku kemarin malam di alun-alun kota Bangil dan diberi alamat rumah sehingga aku bisa datang bersilaturahmi kesini. Mendadak roman muka pak Sobari berubah tegang sambil mengernyitkan dahinya dan terdiam. Kuberanikan diri untuk bertanya kenapa Aeni tidak segera keluar menemuiku, sedang pergi ataukah belum pulang kerja. Jawabannya sungguh diluar dugaanku pak Sobari setengah tidak percaya kalau aku kemarin bersama Aeni karena beliau berkata bahwa Aeni sudah meninggal dunia 7 hari yang lalu, dan hari ini adalah genap ketujuh harinya.
 
Mataku berkunang-kunang tidak bisa menerima kenyataan yang terjadi, antara percaya dan tidak. Pak Sobari mengelus-elus pundakku dan berusaha menenangkan situasi yang begejolak dalam hatiku. Kemudian beliau bercerita bahwa sebenarnya Aeni selama ini mengidap kangker otak stadium akhir. Hampir satu bulan terakhir kondisinya semakin parah, sempat dirawat di Rumah Sakit akan tetapi takdir berkehendak lain. Aeni minta pulang dan  menghabiskan waktunya di rumah sampai ajal menjemputnya. Yuni pun bercerita kalau selama ini dia berusaha mencariku karena dengar cerita dari kakaknya tentang kedekatannya denganku. Selama sebulan terakhir sudah sering Yuni sengaja datang ke alun-alun kota Bangil mencariku tetapi tidak menemukanku.
 
Rupanya inilah jawaban dari pertemuanku dengan Aeni kemarin malam, kenapa aku diminta harus bisa datang ke rumah orang tuanya. Akhirnya aku minta diantar menuju ke tempat Aeni dimakamkan. Kami berdoa di atas pusaranya, tak terasa air mataku menetes membasahi pipiku, hati bagai tersayat sembilu ketika kupandangi kayu nisan yang terpampang jelas nama Aeni binti Sobari. Selesai berdoa Yuni mengeluarkan sebuah amplop biru muda dan memberikannya padaku. Katanya surat itulah yang menyebabkan Yuni mencariku selama sebulan terakhir ini. Dalam surat itu Aeni menceritakan tentang kondisi kesehatannya dan rasa kangen saat-saat bersamaku. Air mataku semakin tak terbendung lagi ketika kubaca bait terakhir surat dari Aeni ".... sebenarnya aku sangat menyayangimu...". 
Aeni.. Oh.. Aeni...