Kalau saat diam dalam kegelapan seperti ini jadi teringat masa kecilku. Saat pertama kali aku melihat dengan kasat mata sosok makhluk halus. Pada waktu itu aku masih duduk dibangku sekolah menengah pertama. Saat itu umurku baru menginjak 13 tahun, usia yang masih sangat dini untuk mengenal dimensi lain. Tapi disisi lain adalah usia dimana rasa keingintahuan dan rasa penasaran yang tinggi.
Siang itu aku masih ingat, tepatnya hari Minggu Legi awal perubahan hidupku terhadap dimensi lain. Sudah tradisi dalam keluargaku apabila hari weton selalu diperingati dengan cara puasa dan membuat bubur merah putih. Besok adalah Senin Pahing jadi aku harus mempersiapkan diri untuk melaksanakan kegiatan rutin wetonan. Sore hari setelah mandi keramas aku memulai puasa yang mana puasa wetonan lain dari puasa pada bulan Ramadhan. Dalam puasa wetonan dimulai ketika pergantian waktu menurut hitungan jawa atau saat ketika matahari mulai kearah barat, tepatnya saat Ashar atau sekitar pukul 16.00 wib.
Menurut bapakku karena usiaku yang sudah menginjak masa yang cukup untuk mewarisi tradisi trah, maka bapak akan mulai memberikan dasar pengetahuan dan dasar kemampuan untuk mengolah diri. Semalaman itu bapakku memberi wejangan dan aku disuruhnya untuk bermeditasi didalam kamar tanpa pencahayaan yang terang karena hanya diterangi sebuah lampu minyak yang kecil. Dalam suasana yang remang aku bermeditasi dalam rangka mengenal diriku sendiri. Karena menurut bapak sebelum kita mengenal dunia luar sebaiknya kenalilah dulu siapa diri kita atau jatidiri kita. Sampai saat ayam jantan berkokok dan sinar matahari mulai merah di ufuk timur posisiku tetap pada satu tempat tanpa bergeser, diam dalam konsentrasi tingkat tinggi.
Hari itu Senin Pahing, dunia seakan berputar, tubuh seakan melayang tidak menyentuh bumi, sementara mataku sudah tidak bisa lagi fokus melihat. Di dalam ruangan kamarku semua seakan berwarna abu-abu. Setelah waktu Ashar tiba aku baru membasahi tenggorokanku dengan segelas air dan mengisi perutku dengan sekepal nasi putih dingin.
Oh iya hampir lupa mengenalkan, bapakku adalah seorang guru disebuah sekolah menengah pertama negeri yang berada di kecamatan yang berbeda. Bapak masih keturunan dari trah Kasepuhan Surakarta. Kami disini keluarga pendatang sehingga beliau sangat menjunjung tinggi makna kemandirian, persaudaraan dan unggah ungguh. Sikap seperti itulah yang bapak terapkan kepada anak-anaknya, agar kita selalu "mikul dhuwur mendhem jero" atau dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung karena menurut fatwa pujangga "lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya".
Malam harinya aku diajak bapak menuju ke sekolah tempat bapak mengajar. Jarak dari desa kami menuju sekolah tempat bapak mengajar sekitar 5 km. Dengan menggunakan sebuah vespa special tahun 1976, aku duduk diboncengan dengan rasa penasaranku berkecamuk dalam bathin. Hingga sampailah pada pintu gerbang sebuah sekolahan dengan suasana didalamya yang gelap agak remang-remang dengan penerangan lampu bohlam yang cahayanya tidak cukup membuatku bisa melihat seluruh sudut lokasi. Bulu kudukku mulai merinding dan gejolak bathinku mulai dag dig dug tidak menentu.
Bapak berpesan supaya aku jangan takut. Beliau menyuruhku untuk meditasi sebentar agar bisa menenangkan diri dan menerapkan apa yang bapak wejangkan semalam. Kucoba memusatkan pikiranku dan mencoba meraba apa yang ada disekitarku dengan mata bathinku. Suasana gelap aku dan bapak duduk diruang bimbingan konseling, ruang dimana bapakku bekerja di sekolah itu. Awalnya aku tidak bisa merasakan apa-apa sampai akhirnya bapak membantuku dalam meditasi tersebut.
Hawa dingin mulai menjalari kulitku seperti menggerayangi tubuhku, telinga mulai berdengung, tidak bisa mendengarkan suara apapun bahkan suara jangkrikpun aku sudah tidak bisa mendengar lagi. Lambat laun suara dengungan itu menghilang, sayup-sayup kudengar suara gamelan yang bekumandang seperti terbawa angin. Bapak berbisik agar aku tetap diam dan tenang, aku cuma menganggukan kepala karena masih ada rasa takut.
Kemudian bapak menyuruhku membuka mata dan bertanya apa yang aku lihat dan apa yang aku rasakan. Aku menjawab kalau aku hanya mendengar suara gamelan berbunyi tetapi tidak bisa melihat satupun makhluk halus kecuali meja dan kursi bawah temaram cahaya lampu ruangan yang agak remang-remang. Kemudian bapak memegang telapak tanganku. Hawa dingin terasa seakan masuk melalui urat nadiku. Diusapnya kedua alisku dan menyuruhku melihat sekitar ruangan. Tatapan mataku berhenti pada sebuah sudut dekat meja kerja bapak. Jantungku seakan mau copot ketika mataku melihat sesosok wanita cantik dengan wajah kebule-bulean, berambut sebahu dan berkulit putih sewangi aroma tubuhnya yang mulai kurasakan lembut mengisi hidungku.
Bapak berkata agar aku tidak takut, menurut beliau inilah salah satu makhluk dari dimensi lain jenis yang tidak jahat. Dia bisa diajak komunikasi denganku seperti manusia pada umumnya. Kemudian bapak mengatakan kepada wanita itu kalau aku ini anaknya dan berpesan agar menghormati aku sama seperti kepada bapak. Kemudian bapak menyuruh wanita itu duduk di kursi seberang tempatku duduk. Jarak kami sangat dekat hanya di batasi sebuah meja kayu. Dia tersenyum kecil padaku sehingga rasa takutku mulai menghilang, maka kuberanikan diri untuk bertanya " Sopo sejatine siro?" (siapa kamu sebenarnya?) dengan sedikit menunduk wanita itu menjawab pelan " kulo Erna ingkang manggen wonten ngriki" (saya Erna yang menghuni tempat ini). Alamak lembut sekali suaranya, sementara bapak duduk mengawasi disebelahku.
Tiba-tiba telingaku berdengung sangat keras sekali hingga aku menutup telinga. Aku bertanya pada bapak tentang apa yang terjadi. Bapak hanya bilang itu tanda ada makhluk halus lagi yang mendekat jadi nanti akupun akan merasakan hal yang sama kalau telingaku berdengung. Semakin dekat semakin keras dengungan itu kurasakan dan mendadak jantungku seakan mau copot lagi ketika tiba-tiba muncul sosok wanita satu lagi duduk disebelah makhluk halus yang bernama Erna tadi. Bedanya yang satu ini berambut panjang agak bergelombang. Kepalanya tertunduk dengan rambut yang terburai rapi menutupi separuh wajahnya. Kulihat sedikit wajahnya yang ternyata lumayan cantik juga. Bedanya yang satu ini tidak seputih Erna. Akupun tetap fokus dan konsentrasi dan berusaha berinteraksi dengan sosok wanita yang belum aku ketahui namanya. Mulai kuajukan satu pertanyaan seperti yang aku tanyakan pada sosok Erna.
Ternyata namanya Shinta dan mereka berdua teman akrab dalam dunia mereka. Wah jadi tambah penasaran diriku ingin tahu lebih banyak, kutanyakan mengapa wajahnya menunduk terus dan rambutnya selalu menghalangiku untuk melihat wajahnya. Lama Shinta terdiam, tak ada sedikitpun suara dari bibirnya. Dari bagian wajah yang tidak tertutup rambutnya tidak kulihat senyum semanis Erna, hanya wajah sayu dan raut muka yang sendu. Perlahan kudengar isak tangisnya pelan.
Bapak kemudian berinteraksi dengan Shinta bahwa aku ingin melihat wajahnya, selanjutnya bapak bilang kepadaku yang penting tetap tenang, fokus dan jangan takut. Aku hanya menganggukan kepala tanda mengerti. Lalu kupandangi dengan dalam wajah dari sosok Shinta itu. Rasa penasaranku semakin dalam ingin melihat kecantikannya. Maklumlah seusiaku kan sedang mulai masa puber jadi sangat senang dengan sesuatu yang indah. Kemudian secara perlahan Shinta mulai menengadahkan wajahnya dan memandangku dengan sorot mata sayu, dia tersenyum kecil kepadaku sambil tangannya menyibakan rambut yang menutupi separuh wajahnya.
Pyaaar..!!! Jantungku seakan copot seketika ketika kulihat wajah aslinya yang tadi tertutup rambut. Terlihat darah segar mengalir dari kepalanya menutupi mata hingga separuh wajahnya. Hiii... ngeri sekali mendadak seluruh bulu kudukku merinding, aliran darah seakan berhenti, tubuh bagaikan tidak bertulang kehilangan daya, seketika pandanganku berkunang-kunang tidak terlihat apapun dan gelap gulita. Sayup-sayup dan semakin lama semakin jelas kudengar suara bapakku memanggil namaku di telingaku. Ketika kubuka mata kulihat bapak di depanku sambil tertawa lirih. Dipegangnya telapak tanganku kemudian kurasakan aliran hawa murni masuk ke tubuhku.
Setelah tenagaku agak pulih bapak mengajakku meninggalkan tempat itu. Kulihat jam dinding menunjukan pukul 02.45 wib. Dalam perjalanan pulang aku cuma bisa mendekap tubuh bapak sambil mengingat apa yang terjadi tadi dan berangan-angan akankah aku mendapatkan pengalaman bertemu makhluk halus seperti mereka lagi? ya mungkin suatu saat nanti.