Pengalaman ini kami alami kira-kira dua tahun yang lalu tepatnya bulan Oktober tahun 2014. Malam itu malam Selasa, jam dinding sudah menunjukan pukul 22.05 WIB. Aku masih duduk bersama bala Kurawa Bumijawa di teras rumah den Koko sambil menikmati kopi hitam dan ketela goreng. Malam ini kami hanya berempat yaitu aku, mas Ito Watulawang, den Koko dan mas Tejo. Terdengar bunyi HP mas Ito, ternyata sebuah sms masuk berasal dari mas Wawan bala Kurawa yang tinggal di desa Dukuhtengah. Mas Wawan mengharapkan kami datang mengunjungi rumahnya.
Kami berangkat hanya bertiga menggunakan mobil sedan den Koko. Mas Tejo tidak bisa ikut ke rumah mas Wawan karena sedang tugas piket malam. Sampai di desa Rembul hujan deras mulai turun, jalan satu-satunya menuju rumah mas Wawan adalah melewati makam angker yang ada di dukuh Serang. Setelah melalui sebuah tanjakan sulit yang kondisi aspalnya sudah habis, akhirnya sampailah kami di gang masuk menuju rumah mas Wawan. Setelah mobil diparkir di tepi jalan kampung, kami berjalan kaki kira-kira 200 meter hingga sampai pada sebuah rumah bilik yang sangat sederhana di tengah kebun. Sekeliling kami gelap sekali hanya terlihat bayangan rimbunnya pepohonan. Yang nampak jelas hanya rumpun pohon bambu dan sebuah pohon nangka di belakang rumah.
Rupanya mas Wawan sedang ada tamu, ku hitung ada empat pria dan dua wanita. Sementara kami pun menunggu di halaman depan rumah. Setelah tamunya pulang kemudian kami dipersilahkan masuk ke rumahnya. Kami duduk beralaskan tikar anyaman yang menghampar di ruang tamu. Yah, mas Wawan hidupnya sangat sederhana, pekerjaan sehari-hari sebagai seorang pekerja bangunan cukup untuk menghidupi istri dan kedua anaknya yang masih kecil. Padahal banyak orang yang sengaja datang minta tolong kepada mas Wawan untuk mengatasi berbagai masalah mereka, tetapi mas Wawan tidak pernah meminta imbalan ataupun mahar. Beliau ikhlas menolongnya, kebanyakan yang datang minta penglaris adalah pedagang nasi goreng yang hidup di perantauan.
Setelah berbincang-bincang sejenak kemudian mas Wawan masuk kedalam kamar. Tak lama kemudian dia keluar sambil membawa sebuah bumbung bambu dengan motif ukiran. Lalu dia pun mempersilahkan kami untuk melihatnya. Begitu aku memegang bumbung bambu itu langsung terasa getaran yang lumayan kuat. Bau harum minyak tujuh penjuru memadati ruangan yang tak lebar itu. Karena rasa penasaran aku mengambil dupa kerucut beraroma rose dan lavender yang selalu aku bawa di saku jaket. Setelah diberi mantra lalu mulai kubakar dupa itu. Harum aroma dupa tak kalah memenuhi ruang tamu rumah mas Wawan.
Kami semua konsentrasi dalam meditasi untuk mendeteksi benda apakah gerangan. Di bawah temaram cahaya lampu ruangan yang tidak begitu terang, samar-samar kulihat tutup bumbung itu mulai berputar membuka. Setelah tutupnya membuka penuh terurailah segenggam rambut berwarna kuning keemasan dengan panjang kira-kira setengah meter.
Kami sangat heran karena baru kali ini melihat bentuk rambut yang seperti itu. Aku berpendapat bahwa tidak mungkin itu adalah rambut manusia. Mas Wawan sambil tersenyum berkata kalau kami ingin tahu jenis rambut makhluk apa itu maka kami harus meditasi sambil memegang rambut itu. Tapi belum sampai kami memegangnya, tiba-tiba tubuh ini mulai merasakan gatal-gatal seperti terkena gurem sawah.
Aku urungkan niatku untuk memegang rambut yang terurai keluar dari bumbung bambu itu. Rupanya mas Ito dan den Koko juga mengalami hal serupa sehingga mereka pun mengikutiku untuk tidak jadi memegangnya. Aku mengeluarkan sebotol minyak misik hitam dan minyak jafaron merah untuk sarana membantu menarik energi yang ada disekitar kami. Satu buah dupa aku bakar lagi, sambil kami mencoba melihat dengan mata bathin apa yang ada di hadapan kami.
Ketika sudah mencapai titik puncak meditasi samar-samar melalui mata bathinku tampak sosok seperti seorang nenek disamping mas Wawan. Sosok itu berambut panjang dengan warna kuning emas persis sekali dengan ada yang di bumbung bambu. Sosok itu jongkok wajahnya kecoklatan agak peot, giginya ompong dan terlihat hanya menggunakan kain selendang batik yang dipakai seperti popok bayi, sementara payudaranya yang sudah peot juga menjuntai sampai ke lantai tanah. Sosok itu tertawa terkekeh sambil memandangi kami. Sosok itu bukan sosok yang menakutkan tetapi malah terlihat lucu.
Ketika sudah mencapai titik puncak meditasi samar-samar melalui mata bathinku tampak sosok seperti seorang nenek disamping mas Wawan. Sosok itu berambut panjang dengan warna kuning emas persis sekali dengan ada yang di bumbung bambu. Sosok itu jongkok wajahnya kecoklatan agak peot, giginya ompong dan terlihat hanya menggunakan kain selendang batik yang dipakai seperti popok bayi, sementara payudaranya yang sudah peot juga menjuntai sampai ke lantai tanah. Sosok itu tertawa terkekeh sambil memandangi kami. Sosok itu bukan sosok yang menakutkan tetapi malah terlihat lucu.
Setelah selesai meditasi kami lanjutkan ngobrol sambil minum kopi. Mas Wawan kemudian menceritakan awal mula sosok nenek itu sudah sekitar sembilan tahun bersamanya. Sosok itu dari golongan wewe gombel tapi dari jenis yang tidak jahat. Dia biasa memanggilnya si Mong karena biasanya wanita tua kalau di desa dipanggil "Mong" yang artinya nenek. Rambut yang di dalam bumbung itu diberikan oleh si Mong kepada mas Wawan agar dipergunakan untuk tujuan sarana menolong, sebagai sarana penglaris bagi pedagang, menjaga keharmonisan keluarga dan yang pasti adalah sarana pemikat.
Pukul 02.30 WIB dini hari kami pamit pulang. Perjalanan pulang aku duduk di belakang bersama mas ito, sementara den Koko memegang kemudi di depan sendirian. Setelah mobil mulai berjalan den Koko bilang kalau laju mobil terasa berat sekali seperti kelebihan beban muatan. Memang aku dan mas Ito juga merasakan aura yang lain di dalam mobil. Samar kulihat ada sebuah sosok yang duduk di kursi samping den Koko.
Sampai di perbatasan antara desa Dukuhtengah dan desa Rembul tepat disebuah jembatan yang berada di tikungan tajam aku meminta den Koko untuk menepi dan menghentikan mobil. Ternyata benar sosok itu adalah si Mong yang rupanya mengikuti kami di dalam mobil. Aku mencoba berinteraksi dengan sosok si Mong. Ketika ku panggil dengan sebutan si Mong sosok itu berkata kalau namanya adalah Nyi Seruni yang aslinya berasal dari hutan Jurang Mangu. Kami pun meminta nyai Seruni untuk turun dari mobil dan kembali ke rumah mas Wawan. Sambil terkekeh nyi Seruni menghilang dalam gelapnya malam.
Keesokan paginya mas Wawan mengirim pesan melalui sms yang isinya mengharap sekali kedatangan kami lagi pada malam Sabtu karena ternyata nyi Seruni sangat menyukai kedatangan kami bala Kurawa Bumijawa dan akan memberikan dengan sukarela kenang-kenangan kepada kami. Kira-kira apakah gerangan yang akan terjadi berikutnya? Nantikan kisahnya di postingan berikutnya yaa he..he..he...